Pahlawan, pahlawan, dan pahlawan. Rupanya
kepahlawanan menjadi tema yang sangat digandrungi akhir-akhir ini. Berbagai lembaga
kemahasiswaan berlomba-lomba mengusung tema kepahlawanan dalam setiap kegiatan.
Seminar bertema kepahlawanan, pelatihan kepemimpinan apalagi, jelas tak mau
luput dari kata “pahlawan”. Pun berbagai jenis lomba yang diselenggarakan mulai
dari tulis puisi, essay, sampai photografi tak luput dari embel-embel kata
“pahlawan”. Wajar saja bulan ini seakan sarat akan kata “pahlawan”, kau tentu
ingat kawan, pertempuran berdarah yang terjadi di Surabaya 10 November 1945
lalu. Pertempurn yang menewaskan ribuan nyawa pejuang kita demi untuk kata
“merdeka”. Pantaslah jika tanggal 10 November diperingati sebagai hari
pahlawan, tapi apa cukup hanya sekadar diingat? Tanpa ada gerak, tanpa ada
karya?
“Pahlawan bukanlah orang suci yang
diturunkan dari langit ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan
mukjizat. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar,
dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus
tercatat dalam buku sejarah atau dimakamkan di taman makam pahlawan. Mereka
juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka adalah manusia biasa yang berusaha memaksimalkan
seluruh kemampuan untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang
disekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung, karya
kepahlawanan adalah tabung jiwa dalam masa yang lama.” Begitu kata Anis Matta
dalam bukunya, Mencari Pahlawan Indonesia.
Agaknya justru bukan hanya sebatas peringatan, tapi lebih kepada instrospeksi
diri, sudahkah kita menjadi pahlawan? Sudahkah kita mempersembahkan karya
terbaik kita untuk bumi merah putih ini? Apa yang sudah kita lakukan kawan? Ayo
bangkit kawan! Negara ini butuh pahlawan, bukan cecunguk muda yang tak berguna
yang hanya menambah keterpurukan negeri.
Cobalah tengok puisi Chairil Anwar yang
berjudul Karawang Bekasi ini kawan!
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda, yang
tinggal diliputi debu.
Kenang-kenanglah kami.
Lantas,
apa cukup sampai di situ Chairil Anwar menulis sajaknya? Tidak kawan, sekali
lagi pahlawan tidak hanya sekadar tuk dikenang. Maka pada bait ke sembilan ia
berkata,
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa
kami
Begitulah
makna hari pahlawan sesungguhnya. Selayaknya tak sebatas tema yang diusung
dalam sebuah seminar, pelatihan, atau perlombaan. Kalaupun tema kepahlawanan
itu banyak menghiasi berbagai pamflet kegiatan di bulan November ini, semoga
semua itu tak berhenti hanya sampai pada sebuah tema yang diusung, melainkan mampu
merasuk pada jiwa-jiwa muda kita, membangkitkan gairah kepahlawanan yang
sejatinya akan terus bersemayam dalam jiwa kita, karena kata Chairil Anwar kerja belum selesai, belum apa-apa.
Kini,
hari ini, tak ada lagi kata “berdiam diri”. Kitalah yang tentukan hari esok,
karena pahlawan bisa saja aku, kau, dia, mereka, kita semua.
Kami Cuma tulang-tulang
berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang
tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami
melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk
apa-apa,
Kami tidak tahu, kami
tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang
berkata
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas
Negeri Semarang Angkatan 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar