Selasa, 13 November 2012

Aku Adalah Gadis Kecil 19 Tahun


“Ova, sebentar lagi Mba Arih ke sini. Bikinin kue buat Ova. Anak pinter itu harus apa?”
“Harrrusss sabarrr...”
“Pinter...”
Usia 6 tahun, kala semua masih baik-baik saja. Masih ada perhatian mamah, masih ada guyonan mamah, pun masih ada kekesalan mamah saat aku nakal, meski ia tak menunjukkannya secara langsung.
Hari-hari berlalu. Ada suatu yang aneh yang kutangkap dari mamah, meski aku tak mengerti apa yang terjadi dengan mamah. Mamah tak lagi menemaniku bermain, mamah tak lagi memarahiku ketika aku nakal, bahkan di sudut kamar itu, mamah sering menyendiri. Diam, seperti orang linglung. Sesekali aku penasaran mendekat, tapi ia hanya diam, tak menghiraukanku.
Waktu pun semakin merangkak, merangkak, dan merangkak. Meninggalkan cerita hangat itu, cerita layaknya anak kecil yang renyah dengan tawa bersama orang tuanya. Kini aku lebih sering bermain sendiri, sendiri, dan hanya sendiri. Aku tidak ingin bermain dengan teman-teman, karena aku takut mereka juga tak memedulikanku, seperti mamah yang mungkin lupa bahwa ia punya seorang anak kecil.
Belakangan rumahku ramai, orang-orang berseliweran keluar masuk rumahku. Mereka menemui mamah, mengajak ngobrol mamah, namun anehnya mamah hanya diam kemudian menangis terisak-isak. Aku tak tahu yang terjadi dengan mamah, aku tak mengerti mengapa orang-orang berseliweran keluar masuk rumahku hanya untuk melihat  mamah. Ada yang mereka sebut “Mbah”, ada pula yang mereka sebut “Ki”, aku tak mengerti. Tapi aku tak peduli, aku terus saja hanyut bersama mainan-mainan busuk yang justru seolah mencibirku.
“Rumah Sakit Jiwa itu tempatnya orang-orang gila. Kalau mamah kamu dibawa ke sana berati mamah kamu gila!”
“Nggak!! Mamah Ova nggak gila!!! Mamah Ova hanya sakit!!! Nggak gila!!!”
“Ova anak orang gila!!! Orang gila! Ayo teman-teman kita pergi saja, takutnya jadi ikut-ikutan gila kaya mamah Ova.”
Ejekan teman-teman pagi itu begitu kejam merajahku, menghantuiku tanpa lelah. Muak aku pada mereka, dan aku tak ingin mengenal mereka lagi. Mereka bilang Rumah Sakit Jiwa itu tempatnya orang gila. Sedang siang ini mamah akan dibawa ke sana. Tapi aku percaya mamah nggak gila, ia hanya sakit, hanya sakit.
Mamah, mereka nakal. Mereka bilang mamah orang gila. Tapi itu salah kan mah? Itu nggak bener kan mah? Mamah nggak gila kan mah? Nggak, mamah nggak gila. Mamah hanya sakit dan perlu diobati. Iyakan Allah... ? kata Bude Allah nggak akan pernah bohong. Iyakan Allah?
Dari balik jendela kupandangi mamah dari jauh, perlahan menjauh besamaan dengan mobil yang ditumpakinya. Ada Kakek, Bude, dan Pakde yang mengawalnya.
Sebelum mamah pergi, sempat kupandangi wajah mamah, tatapannya kosong. Ia bagai boneka hidup, ia tak seperti dulu. Allah... sembuhkan mamah Ova...
Tak banyak perubahan yang kudapati semenjak mamah pulang dari Rumah Sakit Jiwa. Kata Bude, mamah ke sana berobat agar bisa menemaniku main ayunan lagi. Tapi kenapa mamah belum sembuh? Kenapa mamah masih membiarkanku jatuh ketika aku nekad main ayunan sendiri?
Lagi-lagi waktu enggan untuk menungguku, ia beranjak meninggalkanku, sendiri...
“Mamah ova baik-baik saja, tapi ia harus pergi ke tempat yang jauh...”
“Tapi benarkan Bude, mamah akan baik-baik saja?”
“Ya, mamah Ova akan baik-baik saja. Ova harus yakin, dan jangan lupa minta tolong sama Allah agar mamah Ova diberi kesembuhan, dan bisa nemenin Ova main ayunan lagi.”
Untuk kali keduanya aku melihat mamah dibawa pergi oleh sebuah mobil, ada Pakde dan Kakek yang mengantarnya. Mobil itu semakin menjauh, semakin jauh. Berbeda dengan dulu, aku benar-benar merasa tak tahan untuk tak mengejarnya. Aku meronta sekuat tenaga melepaskan dekapan Bude. Aku ingin lari, mengejar mobil kijang itu. Aku ingin memeluk  mamah, aku ingin cium kening mamah, aku tak ingin mamah kesepian di sana. Namun usahaku sia-sia, dekapan bude terlalu kuat untuk aku dapat melepaskannya. Aku hanya bisa menangis, menangis sejadi-jadinya, sedang suaraku parau dan nyaris hilang... sesaat kemudian suasana menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri, rupanya energiku terlalu terkuras.
Kejadian itu masih lekat dalam ingatanku. Ketika mamah dibawa oleh sebuah mobil kijang ke tempat yang jauh... Bude bilang mamah akan dibawa ke sebuah pondok. Entah pondok apa itu, aku tak tahu.
Setelah kejadian itu, aku tinggal bersama Bude di Semarang. Aku dididik benar oleh mereka. Dibesarkan dengan latar belakang agama yang taat, tidak seperti lingkungan keluargaku dulu. Hingga tumbuhlah aku sebagai anak kebanggaan mereka.
Usia remaja, ketika anak lain seusiaku menghabiskan waktunya untuk hura-hura dengan segala pergaulannya yang kurang sehat, aku justru lebih memilih untuk di rumah menemani Bude, sebagai bentuk tumpahan rinduku pada mamah. Pun karena aku tak ingin Allah marah. Ketika anak remaja lain sembunyi-sembunyi dari ibunya demi untuk pergi bersama temannya, aku justru tak mendapati mamah untuk sekadar mencium tangannya ketika pamitan berangkat ke sekolah. Ketika anak remaja lain malu saat dipergoki temannya pergi bersama ibunya, aku justru sangat memimpikan seperti apa indahnya pergi dengan menggandeng tangan mamah. Semua itu menjadikanku tegar. Ya, tegar atas segala bentuk rengekan teman-temanku atas perilaku orang tuanya yang terlalu over protective sehingga mereka merasa tak mendapat kebebasan. Mereka pikir dengan tanpa pengawasan dari orang tua hidup mereka akan bahagia. Padahal tidak, kawan. Dalam hati aku sering berkata “seandainya kalian tahu bagaimana keadaanku, tentulah kalian tak akan bilang betapa malangnya hidup kalian karena boleh jadi kalian lebih beruntung dariku.” Satu hal yang selalu aku ingat dari perkataan Bude, bahwa Allah begitu sayang padaku, Dia mengajariku arti sabar sebelum anak seusiaku tahu apa itu sabar.
Kini di usia 19 tahun, saat kakiku tengah menginjak bumi Universitas, aku bagai seorang gadis kecil yang begitu ingin dimanja oleh Ibunya. Gadis kecil yang begitu ingin disuapi ibunya, gadis kecil yang begitu ingin merengek minta dibelikan es krim, gadis kecil yang begitu ingin main ayunan bersama ibunya di belakang rumah dan membuat iri anak kecil lain, gadis kecil yang ingin merasakan bagaimana rasanya dijewer seorang ibu ketika nakal. Ya, aku gadis kecil itu. Gadis kecil 19 tahun. Allah, izinkan mamah kembali bersama kami di sini...

Semarang, 28 Oktober 2012
Teruntuk bibiku, semoga cepat sembuh... Ira sayang Bibi  :’(

 pandanwangi156@gmail.com

Sabtu, 10 November 2012

Apa Makna Hari Pahlawan Bagimu?


Pahlawan, pahlawan, dan pahlawan. Rupanya kepahlawanan menjadi tema yang sangat digandrungi akhir-akhir ini. Berbagai lembaga kemahasiswaan berlomba-lomba mengusung tema kepahlawanan dalam setiap kegiatan. Seminar bertema kepahlawanan, pelatihan kepemimpinan apalagi, jelas tak mau luput dari kata “pahlawan”. Pun berbagai jenis lomba yang diselenggarakan mulai dari tulis puisi, essay, sampai photografi tak luput dari embel-embel kata “pahlawan”. Wajar saja bulan ini seakan sarat akan kata “pahlawan”, kau tentu ingat kawan, pertempuran berdarah yang terjadi di Surabaya 10 November 1945 lalu. Pertempurn yang menewaskan ribuan nyawa pejuang kita demi untuk kata “merdeka”. Pantaslah jika tanggal 10 November diperingati sebagai hari pahlawan, tapi apa cukup hanya sekadar diingat? Tanpa ada gerak, tanpa ada karya?
“Pahlawan bukanlah orang suci yang diturunkan dari langit ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus tercatat dalam buku sejarah atau dimakamkan di taman makam pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka adalah manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuan untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang disekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabung jiwa dalam masa yang lama.” Begitu kata Anis Matta dalam bukunya, Mencari Pahlawan Indonesia. Agaknya justru bukan hanya sebatas peringatan, tapi lebih kepada instrospeksi diri, sudahkah kita menjadi pahlawan? Sudahkah kita mempersembahkan karya terbaik kita untuk bumi merah putih ini? Apa yang sudah kita lakukan kawan? Ayo bangkit kawan! Negara ini butuh pahlawan, bukan cecunguk muda yang tak berguna yang hanya menambah keterpurukan negeri.
Cobalah tengok puisi Chairil Anwar yang berjudul Karawang Bekasi ini kawan!

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda, yang tinggal diliputi debu.
Kenang-kenanglah kami.

Lantas, apa cukup sampai di situ Chairil Anwar menulis sajaknya? Tidak kawan, sekali lagi pahlawan tidak hanya sekadar tuk dikenang. Maka pada bait ke sembilan ia berkata,

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami

Begitulah makna hari pahlawan sesungguhnya. Selayaknya tak sebatas tema yang diusung dalam sebuah seminar, pelatihan, atau perlombaan. Kalaupun tema kepahlawanan itu banyak menghiasi berbagai pamflet kegiatan di bulan November ini, semoga semua itu tak berhenti hanya sampai pada sebuah tema yang diusung, melainkan mampu merasuk pada jiwa-jiwa muda kita, membangkitkan gairah kepahlawanan yang sejatinya akan terus bersemayam dalam jiwa kita, karena kata Chairil Anwar kerja belum selesai, belum apa-apa.
Kini, hari ini, tak ada lagi kata “berdiam diri”. Kitalah yang tentukan hari esok, karena pahlawan bisa saja aku, kau, dia, mereka, kita semua.

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
   kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Ira Damayanti ( pandanwangi156@gmail.com )
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang Angkatan 2011