“Ova,
sebentar lagi Mba Arih ke sini. Bikinin kue buat Ova. Anak pinter itu harus
apa?”
“Harrrusss
sabarrr...”
“Pinter...”
Usia
6 tahun, kala semua masih baik-baik saja. Masih ada perhatian mamah, masih ada
guyonan mamah, pun masih ada kekesalan mamah saat aku nakal, meski ia tak
menunjukkannya secara langsung.
Hari-hari
berlalu. Ada suatu yang aneh yang kutangkap dari mamah, meski aku tak mengerti
apa yang terjadi dengan mamah. Mamah tak lagi menemaniku bermain, mamah tak
lagi memarahiku ketika aku nakal, bahkan di sudut kamar itu, mamah sering
menyendiri. Diam, seperti orang linglung. Sesekali aku penasaran mendekat, tapi
ia hanya diam, tak menghiraukanku.
Waktu
pun semakin merangkak, merangkak, dan merangkak. Meninggalkan cerita hangat
itu, cerita layaknya anak kecil yang renyah dengan tawa bersama orang tuanya.
Kini aku lebih sering bermain sendiri, sendiri, dan hanya sendiri. Aku tidak
ingin bermain dengan teman-teman, karena aku takut mereka juga tak memedulikanku,
seperti mamah yang mungkin lupa bahwa ia punya seorang anak kecil.
Belakangan
rumahku ramai, orang-orang berseliweran keluar masuk rumahku. Mereka menemui
mamah, mengajak ngobrol mamah, namun anehnya mamah hanya diam kemudian menangis
terisak-isak. Aku tak tahu yang terjadi dengan mamah, aku tak mengerti mengapa
orang-orang berseliweran keluar masuk rumahku hanya untuk melihat mamah. Ada yang mereka sebut “Mbah”, ada pula
yang mereka sebut “Ki”, aku tak mengerti. Tapi aku tak peduli, aku terus saja hanyut
bersama mainan-mainan busuk yang justru seolah mencibirku.
“Rumah
Sakit Jiwa itu tempatnya orang-orang gila. Kalau mamah kamu dibawa ke sana
berati mamah kamu gila!”
“Nggak!!
Mamah Ova nggak gila!!! Mamah Ova hanya sakit!!! Nggak gila!!!”
“Ova
anak orang gila!!! Orang gila! Ayo teman-teman kita pergi saja, takutnya jadi
ikut-ikutan gila kaya mamah Ova.”
Ejekan
teman-teman pagi itu begitu kejam merajahku, menghantuiku tanpa lelah. Muak aku
pada mereka, dan aku tak ingin mengenal mereka lagi. Mereka bilang Rumah Sakit
Jiwa itu tempatnya orang gila. Sedang siang ini mamah akan dibawa ke sana. Tapi
aku percaya mamah nggak gila, ia hanya sakit, hanya sakit.
Mamah, mereka nakal.
Mereka bilang mamah orang gila. Tapi itu salah kan mah? Itu nggak bener kan mah?
Mamah nggak gila kan mah? Nggak, mamah nggak gila. Mamah hanya sakit dan perlu
diobati. Iyakan Allah... ? kata Bude Allah nggak akan pernah bohong. Iyakan
Allah?
Dari
balik jendela kupandangi mamah dari jauh, perlahan menjauh besamaan dengan
mobil yang ditumpakinya. Ada Kakek, Bude, dan Pakde yang mengawalnya.
Sebelum
mamah pergi, sempat kupandangi wajah mamah, tatapannya kosong. Ia bagai boneka
hidup, ia tak seperti dulu. Allah...
sembuhkan mamah Ova...
Tak
banyak perubahan yang kudapati semenjak mamah pulang dari Rumah Sakit Jiwa.
Kata Bude, mamah ke sana berobat agar bisa menemaniku main ayunan lagi. Tapi
kenapa mamah belum sembuh? Kenapa mamah masih membiarkanku jatuh ketika aku
nekad main ayunan sendiri?
Lagi-lagi
waktu enggan untuk menungguku, ia beranjak meninggalkanku, sendiri...
“Mamah
ova baik-baik saja, tapi ia harus pergi ke tempat yang jauh...”
“Tapi
benarkan Bude, mamah akan baik-baik saja?”
“Ya,
mamah Ova akan baik-baik saja. Ova harus yakin, dan jangan lupa minta tolong
sama Allah agar mamah Ova diberi kesembuhan, dan bisa nemenin Ova main ayunan lagi.”
Untuk
kali keduanya aku melihat mamah dibawa pergi oleh sebuah mobil, ada Pakde dan Kakek
yang mengantarnya. Mobil itu semakin menjauh, semakin jauh. Berbeda dengan
dulu, aku benar-benar merasa tak tahan untuk tak mengejarnya. Aku meronta sekuat
tenaga melepaskan dekapan Bude. Aku ingin lari, mengejar mobil kijang itu. Aku
ingin memeluk mamah, aku ingin cium
kening mamah, aku tak ingin mamah kesepian di sana. Namun usahaku sia-sia,
dekapan bude terlalu kuat untuk aku dapat melepaskannya. Aku hanya bisa
menangis, menangis sejadi-jadinya, sedang suaraku parau dan nyaris hilang... sesaat
kemudian suasana menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri, rupanya energiku terlalu
terkuras.
Kejadian
itu masih lekat dalam ingatanku. Ketika mamah dibawa oleh sebuah mobil kijang
ke tempat yang jauh... Bude bilang mamah akan dibawa ke sebuah pondok. Entah
pondok apa itu, aku tak tahu.
Setelah
kejadian itu, aku tinggal bersama Bude di Semarang. Aku dididik benar oleh
mereka. Dibesarkan dengan latar belakang agama yang taat, tidak seperti
lingkungan keluargaku dulu. Hingga tumbuhlah aku sebagai anak kebanggaan
mereka.
Usia
remaja, ketika anak lain seusiaku menghabiskan waktunya untuk hura-hura dengan
segala pergaulannya yang kurang sehat, aku justru lebih memilih untuk di rumah
menemani Bude, sebagai bentuk tumpahan rinduku pada mamah. Pun karena aku tak
ingin Allah marah. Ketika anak remaja lain sembunyi-sembunyi dari ibunya demi
untuk pergi bersama temannya, aku justru tak mendapati mamah untuk sekadar
mencium tangannya ketika pamitan berangkat ke sekolah. Ketika anak remaja lain
malu saat dipergoki temannya pergi bersama ibunya, aku justru sangat memimpikan
seperti apa indahnya pergi dengan menggandeng tangan mamah. Semua itu
menjadikanku tegar. Ya, tegar atas segala bentuk rengekan teman-temanku atas perilaku
orang tuanya yang terlalu over protective
sehingga mereka merasa tak mendapat kebebasan. Mereka pikir dengan tanpa
pengawasan dari orang tua hidup mereka akan bahagia. Padahal tidak, kawan.
Dalam hati aku sering berkata “seandainya kalian tahu bagaimana keadaanku,
tentulah kalian tak akan bilang betapa malangnya hidup kalian karena boleh jadi
kalian lebih beruntung dariku.” Satu hal yang selalu aku ingat dari perkataan
Bude, bahwa Allah begitu sayang padaku, Dia mengajariku arti sabar sebelum anak
seusiaku tahu apa itu sabar.
Kini
di usia 19 tahun, saat kakiku tengah menginjak bumi Universitas, aku bagai
seorang gadis kecil yang begitu ingin dimanja oleh Ibunya. Gadis kecil yang begitu
ingin disuapi ibunya, gadis kecil yang begitu ingin merengek minta dibelikan es
krim, gadis kecil yang begitu ingin main ayunan bersama ibunya di belakang
rumah dan membuat iri anak kecil lain, gadis kecil yang ingin merasakan
bagaimana rasanya dijewer seorang ibu ketika nakal. Ya, aku gadis kecil itu.
Gadis kecil 19 tahun. Allah, izinkan
mamah kembali bersama kami di sini...
Semarang,
28 Oktober 2012
Teruntuk
bibiku, semoga cepat sembuh... Ira sayang Bibi
:’(
pandanwangi156@gmail.com